Setelah para umat pulang, tepat jam 10 malam aku dan keluarga membawa perlengkapan mandi rupang ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, ayah mertua masih dalam keadaan sadar, dia masih melihat kehadiran kami.
Kami membimbing tangannya agar bisa menyendok air bunga dan menuangkannya ke rupang Buddha Sakyamuni, dia melakukannya tiga kali, dan dia masih melihat apa yang dia lakukan. Melihat hal ini, aku amat terharu karena ayah mertua bisa ikut pemandian rupang di hari Waisak ini.
Setelah selesai, Pu Xian Pusa memberitahu padaku, kalau Buddha Sakyamuni telah memberkati ayah mertua dan telah memberikan nama buddha padanya, yaitu Vasi Kara Ganda yang artinya: yang mendapatkan berkah berlipat.
Esok harinya aku diberitahu kalau ayah mertua tidak sadarkan diri seharian, matanya tertutup terus, dipanggil juga tidak menyahut, seperti dalam keadaan koma. Kami semua sangat cemas, hari itu kami semua menginap di rumah sakit, dan selama aku menginap itu, ayah mertua tidak bangun sama sekali.
Pagi harinya pukul 6, aku kembali ke rumah karena harus menyiapkan anakku pergi ke sekolah, dan bersiap-siap untuk kembali lagi ke rumah sakit, suamiku sudah mempunyai firasat kalau papanya tidak akan bertahan lagi, karena itu dia meminta agar aku bisa mempersiapkan diri untuk menyusun tata cara sembahyang untuk papa jika sesuatu terjadi.
Benar saja, pukul 10 pagi itu, suamiku telpon dari rumah sakit sambil menangis, mendengar tangisannya aku sudah menduga kalau papa tidak bisa diselamatkan lagi, dia menyuruh agar aku berbicara melalui telpon genggam dengan papa, aku berusaha menguatkan hatiku berbicara dengan ayah mertua agar dia selalu berbahagia. Seluruh keluarga sudah pasrah.
Setelah itu aku segera ke rumah sakit, di rumah sakit sudah berkumpul keluarga, beberapa umat cetya juga sudah ada di rumah sakit dan berdoa untuknya serta membaca Mantera dan melafal nama Buddha Amithaba, kami memohon Buddha Amithaba berkenan menjemput papa, agar papa bisa pergi dengan tenang.
Tidak lama kemudian datang 2 orang sales penjual mesin pernafasan, menawarkan mesinnya untuk didemokan ke papa, kami bingung harus bagaimana, kami tidak ingin membuat papa semakin menderita jika mencoba mesin pernapasan itu.
Satu orang sales mesin pernapasan itu masuk dan menghampiri kami, dia menjelaskan mengenai cara kerja mesin tersebut, dan menuntun agar kami bisa mengambil keputusan terbaik. Setelah meminta petunjuk Guru Sejatiku, beliau mengizinkan mencobanya.
Setelah mengganti mesin yang lama dengan mesin yang dibawa orang tersebut, papa sempat bergerak beberapa kali, lalu dengan cepatnya rohnya keluar dari tubuh, dengan sekejap saja wajah papa yang semula masih merah, berubah menjadi pucat pasi. Nafas papa berkurang perlahan-lahan dan hilang. Papa dinyatakan telah meninggal tepat pukul 3 siang. Kami semua menahan tangis dan berusaha menguatkan hati untuk tidak membuat papa berat meninggalkan kami.
Sales mesin tersebut seperti dewa penolong bagi kami, di saat kami sulit mengambil keputusan, dia datang tepat pada waktunya, sehingga papa tidak terlalu lama menderita. Saat proses keluarnya roh papa dari tubuh, aku segera masuk dalam meditasi dan roh ku keluar.
Saat itu aku tidak melihat roh papa ada di dalam kamar, dengan cepat aku segera naik ke langit, dari kejauhan aku melihat Buddha Amithaba dan papa di sebelah kanannya. Tubuh dan wajah papa masih sama seperti sebelumnya, hanya tidak lemah lagi.
Dia mengunakan jubah kuning, papa melihat kedatanganku dan mereka membalikkan badan menyambutku, papa tersenyum tapi tidak bicara, senyuman khasnya masih tetap sama seperti saat dia masih hidup. Buddha Amithaba berkata :
“Desi, kau datang juga untuk mengantar mertuamu ?”
“Iya Buddha Amithaba, apakah diizinkan ?”
“Tentu saja, mari kita antar ayah mertuamu ke alam Sukhavati.”
“Baiklah Buddha Amithaba.”
Kami bertiga seperti terbang naik ke atas dan tiba di pelataran alam Sukhavati, saat papa menginjakkan kakinya di tanah Sukhavati, aku melihat papa berubah menjadi muda kembali, seperti berusia 30an. Aneh sekali.
“Desi kau sudah mengantar ayah mertuamu. Sekarang kembalilah, ayah mertuamu akan baik-baik saja dan bahagia di alam Sukhavati ini. Ayah mertuamu telah menjadi murid Buddha dan akan menjadi pengikut Buddha mengiringi Buddha membabarkan Dharma. Saat 49 hari buatlah api homa khusus peringatan ayah mertuamu dan aku sebagai Adinatanya, agar pahala kebajikan ayah mertuamu semakin bertambah.”
“Baiklah Buddha Amithaba.”
Lalu mereka berdua pergi semakin ke dalam alam Sukhavati. Aku sudah agak tenang, lalu turun ke bumi dan kembali ke dalam tubuh. Pukul 6 sore, kami memindahkan jenazah papa ke rumah duka di Jakarta, pukul 9 malam jenazah dimasukan ke dalam peti, papa mengenakan jas berwarna hitam dan dibalut jubah warna kuning sesuai petunjuk, karena kuning melambangkan Buddha. Jenazah papa dikremasi sesuai permintaannya,
Guru Sejatiku menyuruh agar aku menyiapkan tempat di cetya Sukhavati Prajna untuk abu kremasi papa, dan menyiapkan satu wadah untuk meletakan tulang hasil kremasi yang tumbuh bunga sarira. Aku agak tidak percaya dengan petunjuk ini, apakah papa punya bunga sarira ? Tapi aku tetap menjalankan petunjuk Guru Sejatiku, walaupun aku sendiri belum tahu seperti apa bunga sarira itu.
Guru Sejatiku memberi petunjuk agar nanti meletakan altar abu papa di sebelah Ksitigharba Bodhisattva untuk sementara waktu, dan apabila di cetya sudah mempunyai tempat, barulah altar papa dipindahkan ke ruang tersendiri. Aku menceritakan semua itu kepada suamiku, dan dia menjalankan petunjuk itu dengan baik.
Karena ini adalah pengalaman pertamaku, aku belum berani memimpin ritual penyebrang, jadi kami mengundang satu tokoh agama yang bisa membantu. Aku belajar dari semua ini, ternyata proses kematian seseorang sampai kremasi, begitu banyak yang harus disiapkan.
Pada hari kedua ritual penyebrangan di rumah duka, Mahaguru sebagai Adinata di altar. Aku merasakan aura yang sangat kuat dan melihat Mahaguru hadir dan papa juga. Secara spontan aku telah masuk ke dalam meditasi dan kepalaku tertunduk dalam, aku kira hendak pergi ke alam binatang, tapi aku malah melihat papa sedang bersujud di depan altar Mahaguru, Mahaguru menopangkan tangan di kepala papa memberkati, dan setelah diberkati tubuh papa menjadi transparan/tembus pandang, ajaib sekali. Mahaguru berkata kepadaku :
“Desi, aku telah memberkati ayah mertuamu sehingga segala karmanya hilang lenyap dan dia telah menjadi murid Buddha, selama 49 hari dia diizinkan untuk bertemu dengan keluarganya, dan selama itu pula aku akan mendampingi ayah mertuamu kemanapun dia pergi, jadi kau tidak perlu cemas.”
Setelah mengucapkan terima kasih, aku perlahan keluar dari meditasi, aku meneteskan airmata bahagia, papa sudah bisa sampai tahap ini, aku sangat bersyukur. Aku segera memberitahukan hal ini pada suamiku. Saat pengangkatan peti jenazah untuk di bawa ke krematorium, kami melakukan ritual tradisi keluarga, ini pertama kalinya aku ikut ritual ini. Saat peti hendak diangkat, dengan sendirinya aku merentangkan tangan dengan telapak tangan ke atas seakan mengantar papa, kakak iparku juga sempat melakukan hal yang sama.
Pada hari mengambil abu jenazah di tempat krematorium, aku sudah menyiapkan wadah untuk tulang yang tumbuh sarira, aku tidak pernah membayangkan kalau hari ini, aku akan memilih tulang hasil pembakaran jenazah papa, aku berdiri tepat di posisi atas, tempat tulang kepala papa, tapi entah kenapa aku merasa punya kekuatan untuk tegar dan tidak takut.
Ternyata petunjuk Guru Sejatiku benar, aku menemukan bunga sarira di beberapa tulang kepala jenazah papa, bunga sarira itu berwarna hijau kebiruan, bentuknya seperti jamur kecil dan tidak hangus terbakar api, ada sekitar 6 potongan tulang yang ada bunga sariranya.
Aku memasukan tulang berbunga sarira itu di wadah yang sudah kusiapkan. Tulang belulang papa terlihat putih bersih setelah proses pembakaran. Bunga sarira yang tumbuh di tulang papa dan tulang yang berwarna putih bersih menunjukan bahwa papa telah banyak berbuat kebajikan dan telah membina diri dengan baik.
Kebajikannya untuk para leluhur, sifat welas asihnya dan rajinnya dia membaca mantera dan sutra selama ini telah membuahkan hasil yang menakjubkan bagi kami. Kesedihan kami telah terhapus dan berganti dengan kebahagiaan yang tidak terhingga.
Suatu kali, setelah aku meletakan altar papa di samping Ksitigharba Bodhisattva ada yang berkomentar kalau tidak boleh meletakkan altar leluhur di dekat altar Buddha-Boddhisattva, karena roh leluhur berhawa yin, dia pasti tidak kuat dengan para Buddha yang berhawa yang.
Aku sempat berpikir juga mengenai hal ini, apakah aku telah berbuat kesalahan. Tapi saat aku bershadana dan membaca mantera-mantera. Ksitigharba Bodhisattva datang dan berkata :
“Desi, para Buddha-Bodhisattva telah mengizinkan ayah mertuamu berdampingan dengan altar mereka. Dia telah menjadi murid Buddha, karmanya telah terhapus dan telah naik ke tanah suci Sukhavati, telah banyak berbuat kebajikan. Tentunya pantas berdampingan dengan Buddha-Bodhisattva.
Jika leluhur yang belum sampai tahapan itu tentu tidak boleh karena masih berhawa yin dan belum menjadi murid Buddha serta masih memiliki karma buruk.”
“Hamba takut berbuat kesalahan, karena baru menjalani hal ini.“
“Kau tidak bersalah, kau telah menjalankan semua berdasarkan petunjuk.”
“Jadi tidak apa-apa Ksitigharba Bodhisattva ?”
“Ayah mertuamu telah mendapat nama Buddha dan di Abhiseka langsung oleh Buddha Sakyamuni. Untuk menjadi pengikut Buddha tentunya harus berdampingan dengan Buddha bukan ? Jadi itu sudah seharusnya.”
“Baiklah, terima kasih atas petunjuknya Ksitigharba Bodhisattva.”
Mendengar petunjuk Ksitigharba Bodhisattva membuat aku tetap teguh pada apa yang kulakukan, aku hanya akan mendengarkan dan menjalankan petunjuk Buddha dan Bodhisattva saja, dan tidak akan terpengaruh dengan perkataan orang lain.
Pada hari ketujuh meninggalnya ayah mertua, kami melakukan penjapaan sutra dan mantera, melimpahkan pahala kebajikan untuknya serta melepas burung, saat pelepasan burung ada satu burung yang tidak segera terbang keatas, tapi burung itu malah masuk ke altar utama cetya, bulu burung itu berwarna kuning, burung itu mengundang perhatian kami, karena dia hinggap pada rupang Buddha Aksobya, lalu pindah ke kepala rupang Buddha Sakyamuni, terus pindah ke kepala rupang Buddha Amithaba, pindah lagi ke rupang Buddha Bhaisajyaguru, ke rupang Mahadewi Yao Che Cin Mu dan terakhir ke rupang Mahaguru.
Setelah itu burung tersebut terbang keluar dan pergi. Menurut petunjuk Se Mien Fo, kalau papa memberi petunjuk melalui burung itu, kalau dia telah bersama-sama dengan para Buddha-Bodhisattva, agar keluarga tidak perlu khawatir.
Selama 49 hari, selalu saja ada kejadian dan keajaiban yang kami semua dapatkan, semua pertanda dan petunjuk yang diberikan semuanya membuat kami terharu dan berbahagia. Dan yang lebih mengharukan dan mengembirakan kami lagi adalah, saat ritual 49 hari ayah mertuaku dan aku memimpin api homa dengan Buddha Amithaba sebagai Adinata, pada hari itu juga, papa telah mencapai tingkat Bodhisattva dan naik ke tingkat tertinggi di alam Sukhavati, semua itu karena kebajikan yang telah dilakukannya dengan mendanakan sebuah rumah di seberang cetya untuk dijadikan rumah abu dan bagian dari cetya Sukhavati Prajna, itulah pahala tertinggi yang dia lakukan sehingga bisa mencapai tingkat Bodhisattva dan naik ke alam Sukhavati tingkat tertinggi.
Dan saat ini papa telah pindah ke altar sendiri di tempat yang nantinya akan menjadi Rumah Abu Marga Tjong. Papa telah menjadi Bodhisattva pembabar Dharma Buddha, mengikuti sang Buddha membabarkan Dharma ke segala penjuru.
Kami membimbing tangannya agar bisa menyendok air bunga dan menuangkannya ke rupang Buddha Sakyamuni, dia melakukannya tiga kali, dan dia masih melihat apa yang dia lakukan. Melihat hal ini, aku amat terharu karena ayah mertua bisa ikut pemandian rupang di hari Waisak ini.
Setelah selesai, Pu Xian Pusa memberitahu padaku, kalau Buddha Sakyamuni telah memberkati ayah mertua dan telah memberikan nama buddha padanya, yaitu Vasi Kara Ganda yang artinya: yang mendapatkan berkah berlipat.
Esok harinya aku diberitahu kalau ayah mertua tidak sadarkan diri seharian, matanya tertutup terus, dipanggil juga tidak menyahut, seperti dalam keadaan koma. Kami semua sangat cemas, hari itu kami semua menginap di rumah sakit, dan selama aku menginap itu, ayah mertua tidak bangun sama sekali.
Pagi harinya pukul 6, aku kembali ke rumah karena harus menyiapkan anakku pergi ke sekolah, dan bersiap-siap untuk kembali lagi ke rumah sakit, suamiku sudah mempunyai firasat kalau papanya tidak akan bertahan lagi, karena itu dia meminta agar aku bisa mempersiapkan diri untuk menyusun tata cara sembahyang untuk papa jika sesuatu terjadi.
Benar saja, pukul 10 pagi itu, suamiku telpon dari rumah sakit sambil menangis, mendengar tangisannya aku sudah menduga kalau papa tidak bisa diselamatkan lagi, dia menyuruh agar aku berbicara melalui telpon genggam dengan papa, aku berusaha menguatkan hatiku berbicara dengan ayah mertua agar dia selalu berbahagia. Seluruh keluarga sudah pasrah.
Setelah itu aku segera ke rumah sakit, di rumah sakit sudah berkumpul keluarga, beberapa umat cetya juga sudah ada di rumah sakit dan berdoa untuknya serta membaca Mantera dan melafal nama Buddha Amithaba, kami memohon Buddha Amithaba berkenan menjemput papa, agar papa bisa pergi dengan tenang.
Tidak lama kemudian datang 2 orang sales penjual mesin pernafasan, menawarkan mesinnya untuk didemokan ke papa, kami bingung harus bagaimana, kami tidak ingin membuat papa semakin menderita jika mencoba mesin pernapasan itu.
Satu orang sales mesin pernapasan itu masuk dan menghampiri kami, dia menjelaskan mengenai cara kerja mesin tersebut, dan menuntun agar kami bisa mengambil keputusan terbaik. Setelah meminta petunjuk Guru Sejatiku, beliau mengizinkan mencobanya.
Setelah mengganti mesin yang lama dengan mesin yang dibawa orang tersebut, papa sempat bergerak beberapa kali, lalu dengan cepatnya rohnya keluar dari tubuh, dengan sekejap saja wajah papa yang semula masih merah, berubah menjadi pucat pasi. Nafas papa berkurang perlahan-lahan dan hilang. Papa dinyatakan telah meninggal tepat pukul 3 siang. Kami semua menahan tangis dan berusaha menguatkan hati untuk tidak membuat papa berat meninggalkan kami.
Sales mesin tersebut seperti dewa penolong bagi kami, di saat kami sulit mengambil keputusan, dia datang tepat pada waktunya, sehingga papa tidak terlalu lama menderita. Saat proses keluarnya roh papa dari tubuh, aku segera masuk dalam meditasi dan roh ku keluar.
Saat itu aku tidak melihat roh papa ada di dalam kamar, dengan cepat aku segera naik ke langit, dari kejauhan aku melihat Buddha Amithaba dan papa di sebelah kanannya. Tubuh dan wajah papa masih sama seperti sebelumnya, hanya tidak lemah lagi.
Dia mengunakan jubah kuning, papa melihat kedatanganku dan mereka membalikkan badan menyambutku, papa tersenyum tapi tidak bicara, senyuman khasnya masih tetap sama seperti saat dia masih hidup. Buddha Amithaba berkata :
“Desi, kau datang juga untuk mengantar mertuamu ?”
“Iya Buddha Amithaba, apakah diizinkan ?”
“Tentu saja, mari kita antar ayah mertuamu ke alam Sukhavati.”
“Baiklah Buddha Amithaba.”
Kami bertiga seperti terbang naik ke atas dan tiba di pelataran alam Sukhavati, saat papa menginjakkan kakinya di tanah Sukhavati, aku melihat papa berubah menjadi muda kembali, seperti berusia 30an. Aneh sekali.
“Desi kau sudah mengantar ayah mertuamu. Sekarang kembalilah, ayah mertuamu akan baik-baik saja dan bahagia di alam Sukhavati ini. Ayah mertuamu telah menjadi murid Buddha dan akan menjadi pengikut Buddha mengiringi Buddha membabarkan Dharma. Saat 49 hari buatlah api homa khusus peringatan ayah mertuamu dan aku sebagai Adinatanya, agar pahala kebajikan ayah mertuamu semakin bertambah.”
“Baiklah Buddha Amithaba.”
Lalu mereka berdua pergi semakin ke dalam alam Sukhavati. Aku sudah agak tenang, lalu turun ke bumi dan kembali ke dalam tubuh. Pukul 6 sore, kami memindahkan jenazah papa ke rumah duka di Jakarta, pukul 9 malam jenazah dimasukan ke dalam peti, papa mengenakan jas berwarna hitam dan dibalut jubah warna kuning sesuai petunjuk, karena kuning melambangkan Buddha. Jenazah papa dikremasi sesuai permintaannya,
Guru Sejatiku menyuruh agar aku menyiapkan tempat di cetya Sukhavati Prajna untuk abu kremasi papa, dan menyiapkan satu wadah untuk meletakan tulang hasil kremasi yang tumbuh bunga sarira. Aku agak tidak percaya dengan petunjuk ini, apakah papa punya bunga sarira ? Tapi aku tetap menjalankan petunjuk Guru Sejatiku, walaupun aku sendiri belum tahu seperti apa bunga sarira itu.
Guru Sejatiku memberi petunjuk agar nanti meletakan altar abu papa di sebelah Ksitigharba Bodhisattva untuk sementara waktu, dan apabila di cetya sudah mempunyai tempat, barulah altar papa dipindahkan ke ruang tersendiri. Aku menceritakan semua itu kepada suamiku, dan dia menjalankan petunjuk itu dengan baik.
Karena ini adalah pengalaman pertamaku, aku belum berani memimpin ritual penyebrang, jadi kami mengundang satu tokoh agama yang bisa membantu. Aku belajar dari semua ini, ternyata proses kematian seseorang sampai kremasi, begitu banyak yang harus disiapkan.
Pada hari kedua ritual penyebrangan di rumah duka, Mahaguru sebagai Adinata di altar. Aku merasakan aura yang sangat kuat dan melihat Mahaguru hadir dan papa juga. Secara spontan aku telah masuk ke dalam meditasi dan kepalaku tertunduk dalam, aku kira hendak pergi ke alam binatang, tapi aku malah melihat papa sedang bersujud di depan altar Mahaguru, Mahaguru menopangkan tangan di kepala papa memberkati, dan setelah diberkati tubuh papa menjadi transparan/tembus pandang, ajaib sekali. Mahaguru berkata kepadaku :
“Desi, aku telah memberkati ayah mertuamu sehingga segala karmanya hilang lenyap dan dia telah menjadi murid Buddha, selama 49 hari dia diizinkan untuk bertemu dengan keluarganya, dan selama itu pula aku akan mendampingi ayah mertuamu kemanapun dia pergi, jadi kau tidak perlu cemas.”
Setelah mengucapkan terima kasih, aku perlahan keluar dari meditasi, aku meneteskan airmata bahagia, papa sudah bisa sampai tahap ini, aku sangat bersyukur. Aku segera memberitahukan hal ini pada suamiku. Saat pengangkatan peti jenazah untuk di bawa ke krematorium, kami melakukan ritual tradisi keluarga, ini pertama kalinya aku ikut ritual ini. Saat peti hendak diangkat, dengan sendirinya aku merentangkan tangan dengan telapak tangan ke atas seakan mengantar papa, kakak iparku juga sempat melakukan hal yang sama.
Pada hari mengambil abu jenazah di tempat krematorium, aku sudah menyiapkan wadah untuk tulang yang tumbuh sarira, aku tidak pernah membayangkan kalau hari ini, aku akan memilih tulang hasil pembakaran jenazah papa, aku berdiri tepat di posisi atas, tempat tulang kepala papa, tapi entah kenapa aku merasa punya kekuatan untuk tegar dan tidak takut.
Ternyata petunjuk Guru Sejatiku benar, aku menemukan bunga sarira di beberapa tulang kepala jenazah papa, bunga sarira itu berwarna hijau kebiruan, bentuknya seperti jamur kecil dan tidak hangus terbakar api, ada sekitar 6 potongan tulang yang ada bunga sariranya.
Aku memasukan tulang berbunga sarira itu di wadah yang sudah kusiapkan. Tulang belulang papa terlihat putih bersih setelah proses pembakaran. Bunga sarira yang tumbuh di tulang papa dan tulang yang berwarna putih bersih menunjukan bahwa papa telah banyak berbuat kebajikan dan telah membina diri dengan baik.
Kebajikannya untuk para leluhur, sifat welas asihnya dan rajinnya dia membaca mantera dan sutra selama ini telah membuahkan hasil yang menakjubkan bagi kami. Kesedihan kami telah terhapus dan berganti dengan kebahagiaan yang tidak terhingga.
Suatu kali, setelah aku meletakan altar papa di samping Ksitigharba Bodhisattva ada yang berkomentar kalau tidak boleh meletakkan altar leluhur di dekat altar Buddha-Boddhisattva, karena roh leluhur berhawa yin, dia pasti tidak kuat dengan para Buddha yang berhawa yang.
Aku sempat berpikir juga mengenai hal ini, apakah aku telah berbuat kesalahan. Tapi saat aku bershadana dan membaca mantera-mantera. Ksitigharba Bodhisattva datang dan berkata :
“Desi, para Buddha-Bodhisattva telah mengizinkan ayah mertuamu berdampingan dengan altar mereka. Dia telah menjadi murid Buddha, karmanya telah terhapus dan telah naik ke tanah suci Sukhavati, telah banyak berbuat kebajikan. Tentunya pantas berdampingan dengan Buddha-Bodhisattva.
Jika leluhur yang belum sampai tahapan itu tentu tidak boleh karena masih berhawa yin dan belum menjadi murid Buddha serta masih memiliki karma buruk.”
“Hamba takut berbuat kesalahan, karena baru menjalani hal ini.“
“Kau tidak bersalah, kau telah menjalankan semua berdasarkan petunjuk.”
“Jadi tidak apa-apa Ksitigharba Bodhisattva ?”
“Ayah mertuamu telah mendapat nama Buddha dan di Abhiseka langsung oleh Buddha Sakyamuni. Untuk menjadi pengikut Buddha tentunya harus berdampingan dengan Buddha bukan ? Jadi itu sudah seharusnya.”
“Baiklah, terima kasih atas petunjuknya Ksitigharba Bodhisattva.”
Mendengar petunjuk Ksitigharba Bodhisattva membuat aku tetap teguh pada apa yang kulakukan, aku hanya akan mendengarkan dan menjalankan petunjuk Buddha dan Bodhisattva saja, dan tidak akan terpengaruh dengan perkataan orang lain.
Pada hari ketujuh meninggalnya ayah mertua, kami melakukan penjapaan sutra dan mantera, melimpahkan pahala kebajikan untuknya serta melepas burung, saat pelepasan burung ada satu burung yang tidak segera terbang keatas, tapi burung itu malah masuk ke altar utama cetya, bulu burung itu berwarna kuning, burung itu mengundang perhatian kami, karena dia hinggap pada rupang Buddha Aksobya, lalu pindah ke kepala rupang Buddha Sakyamuni, terus pindah ke kepala rupang Buddha Amithaba, pindah lagi ke rupang Buddha Bhaisajyaguru, ke rupang Mahadewi Yao Che Cin Mu dan terakhir ke rupang Mahaguru.
Setelah itu burung tersebut terbang keluar dan pergi. Menurut petunjuk Se Mien Fo, kalau papa memberi petunjuk melalui burung itu, kalau dia telah bersama-sama dengan para Buddha-Bodhisattva, agar keluarga tidak perlu khawatir.
Selama 49 hari, selalu saja ada kejadian dan keajaiban yang kami semua dapatkan, semua pertanda dan petunjuk yang diberikan semuanya membuat kami terharu dan berbahagia. Dan yang lebih mengharukan dan mengembirakan kami lagi adalah, saat ritual 49 hari ayah mertuaku dan aku memimpin api homa dengan Buddha Amithaba sebagai Adinata, pada hari itu juga, papa telah mencapai tingkat Bodhisattva dan naik ke tingkat tertinggi di alam Sukhavati, semua itu karena kebajikan yang telah dilakukannya dengan mendanakan sebuah rumah di seberang cetya untuk dijadikan rumah abu dan bagian dari cetya Sukhavati Prajna, itulah pahala tertinggi yang dia lakukan sehingga bisa mencapai tingkat Bodhisattva dan naik ke alam Sukhavati tingkat tertinggi.
Dan saat ini papa telah pindah ke altar sendiri di tempat yang nantinya akan menjadi Rumah Abu Marga Tjong. Papa telah menjadi Bodhisattva pembabar Dharma Buddha, mengikuti sang Buddha membabarkan Dharma ke segala penjuru.