Halaman

ALAM TAWON



Hari ini kira-kira pukul 3 siang, saat aku sedang mengajar anakku, aku merasakan keanehan. Entah kenapa ? Tapi kakak iparku dan mama mertuaku beberapa hari ini mengalami hal-hal aneh.


Katanya saat kakak iparku hendak membaca mantera dengan mengunakan japamala, japamala itu mendadak putus. Lampu altar alm. ayah mertuaku padam dan batang-batang hio yang ada di dalam hiolonya terbakar. Kacamata peninggalan alm. ayah mertua patah saat ibu mertuaku memasukan ke kantong celananya.


Awalnya aku tidak merasakan apapun, mungkin karena begitu banyaknya kesibukan di cetya beberapa hari ini. Aku mencoba meminta petunjuk mengenai hal itu, ternyata ada pesan yang ingin disampaikan oleh alm. ayah mertua.


Dia mencoba berkomunikasi dengan cici dan mama, tapi karena mereka tidak bisa mendengar dan mengetahui petunjuk itu, akhirnya alm. ayah mertua berbicara padaku. Aku melihat kehadiran papa, kali ini agak berbeda, papa duduk di atas teratai dengan memakai jubah kuning.


Beberapa hari sebelumnya, aku mendengar komunikasi kami melalui telinga, tapi kali ini sudah bisa melalui hati. Papa berpesan untuk meletakan altarnya di dalam rumah yang berada diseberang cetya Sukhavati Prajna, altarnya harus menghadap timur dan di sisi-sisinya dibuat kotak kecil untuk tempat abu yang lain. 


Rumah itu memang dijual kepada kami, karena pemilik rumah tersebut tidak menempatinya lagi karena punya masalah keluarga. Saat ini sedang dalam proses jual beli. Aku agak sedikit bingung dengan petunjuk papa, rupanya papa ingin agar rumah tersebut bisa dijadikan rumah abu.


Jika ada orang lain yang hendak meletakan abu leluhurnya disitu juga bisa.  Rumah abu itu harus diberi nama “Rumah Abu Keluarga Tjong“. Petunjuk itu aku sampaikan kepada suamiku, cici dan mama.  Rupanya keluarga telah sepakat untuk membeli rumah itu sebagai sumbangan papa kepada cetya Sukhavati Prajna untuk dijadikan Rumah Abu.


Dan dirumah itu, altar sumpah bodhi akan dipindahkan disana sebagai pelindung leluhur.  Juga nantinya di teras depan posisi timur, akan diletakan altar Se Mien Fo (Buddha 4 muka) menghadap barat, sesuai permintaan dari Se Mien Fo sendiri.


Aku bertanya kepada Buddha Amithaba mengenai petunjuk papa dan kemunculan roh papa yang duduk di atas teratai itu.  Buddha Amithaba berkata kalau papa sudah seperti Bodhisattva, jika dia ingin melakukan kebajikan maka dia akan menyampaikan langsung kepada keluarganya, Buddha Amithaba meminta agar aku jalankan saja petunjuk papa.


Setelah berkomunikasi dengan Buddha Amithaba, aku tidak keluar dari meditasi tapi segera kepalaku tertunduk dalam, aku melihat seekor tawon sedang terbang.


Tawon itu mengajakku ke suatu tempat. Terlihat ada sarang tawon yang agak besar dan di luarnya ada beberapa tawon lain yang sedang berterbangan. Tawon itu masuk ke dalam sarang melalui salah satu lubang, aku mengikutinya. Sepertinya tubuhku berubah menjadi kecil dalam sekejap dan bisa masuk ke dalam lubang sarang tawon yang kecil itu.


Di dalam sarang tawon itu banyak tawon-tawon lain hilir mudik. Tawon tadi mengajakku ke dalam sampai bertemu Ratu Tawon yang wujudnya hampir sama dengan wujud Ratu Rayap, seperti ulat gemuk, tapi Ratu Tawon tidak segemuk dan tidak segeli Ratu Rayap. Lalu tawon yang mengajakku itu berbicara :


“Desi, aku Tawon Penjaga. Ada tiga jenis tawon disini, yaitu tawon penjaga yang berjaga-jaga diluar sarang. Tawon pekerja yang mencari madu bunga dan tawon prajurit yang menjaga dan memberi makan Ratu Tawon.  Ratu Tawon akan melahirkan tawon-tawon prajurit, penjaga dan pekerja.”


“Ada berapa Ratu Tawon di dalam sarang ?”


“Hanya ada satu Ratu Tawon di dalam komunitas tawon. Kami sedang membuat komunitas tawon, tapi hidup kami sudah tidak begitu baik, karena banyak dari kami harus tinggal di dalam sarang buatan manusia.”


“Apa tujuan kalian membuat komunitas ?”

“Untuk melebarkan dan memperbanyak kawanan tawon.”



“Oh...!!!“ Aku terheran-heran mendengar perkataan tawon itu.


“Berapa lama hidup di alam ini ?”

“Ribuan tahun.”

“Wah... lama sekali. Tawon kan makhluk kecil, kenapa hidupnya lama sekali ?”



“Saat kami menyengat manusia, kami pasti akan mati, tapi akan terlahir lagi di alam tawon sampai ribuan tahun.”

“Penderitaan di alam binatang begitu lama, memangnya dari mana asal kalian sebelumnya ? Dan kesalahan apa yang telah dilakukan ?”


“Sebelumnya kami dari alam manusia. Yang saat hidup di dunia telah melakukan pekerjaan penambangan. Menggali bumi dan mengambil hasil perut bumi seperti minyak, emas, gas dan lain-lain.” 


“Oh....”

“Jarum di pantat kami adalah identitas kalau kami sebelumnya adalah penambang.”


“Kalau yang mengali jalan untuk membuat pipa air, apakah akan masuk ke alam ini ?”

“Tidak, yang masuk ke alam ini adalah mereka yang mengambil hasil alam. Baik pekerjanya maupun kontraktornya akan masuk ke alam ini menjadi tawon.” 


Aku tak habis pikir, ternyata seperti itu. tapi bagaimana dengan pengeboran untuk mencari sumber air, apakah juga akan terlahir di alam ini ?   Aku lupa menanyakan hal ini pada tawon tersebut.

Itulah pengalaman perjalananku ke Alam Tawon.