Siang ini kira-kira pukul 3, aku merasa suatu perubahan dalam diriku, sejak beberapa hari yang lalu aku sudah menjapa Mantera Abhiseka Bhaisajyaguru Buddha dan memohon pertolongan Mahaguru dengan bershadana padanya.
Tadi pagi ada seseorang yang sudah berumur sekitar 70-an datang ke tempat ku, dia sudah 5 tahun bersarana pada Mahaguru, saat aku bertemu dengannya ada kontak aura, tapi aku tidak begitu berkonsentrasi karena sibuk dengan pekerjaan.
Orang itu menceritakan tentang jodohnya yang kuat dengan Dewi Matsu, dan dia dibimbing oleh Dewi Matsu untuk bersarana kepada Mahaguru. Orang itu meminta agar aku pergi ke tempatnya, Vihara di puncak.
Beberapa tahun ini dia mengurus Vihara itu sejak pendirinya meninggal. Orang ini juga bisa berkomunikasi dan mendapatkan petunjuk-petunjuk dari para Dewa, tapi karena usianya tidak muda lagi, sehingga geraknya terbatas dan Vihara yang diamanatkan padanya tidak berkembang dengan baik sama sekali, bahkan tidak ada kegiatan Vihara.
Permintaan orang tua itu tidak begitu aku dengarkan, karena aku menjalankan segala sesuatunya berdasarkan petunjuk Guru Sejatiku, dan pada saat itu tidak ada petunjuk apapun. Setelah beberapa lama orang tua itu pergi, aku merasakan sesuatu, aku duduk bermeditasi di ruang kerja, tapi pada saat itu sempat tidak berkonsentrasi dengan baik karena telpon berdering terus menerus, dan sempat membuat aku agak kesal. Aku sempat menangis saat konsentrasiku hilang pada saat itu, setelah agak tenang aku kembali bermeditasi.
Saat itu aku merasakan prana agak berbeda, agak kuat berputar di kepalaku, kemudian terasa ujung hidungku tertekan kuat, seperti ada udara masuk, kurasakan nafas naik ke dahi, lalu turun ke tenggorokan, ke hati lalu ke bawah pusar. Kemudian aku merasa cakra dahi terbuka, tidak lama kemudian Mahaguru datang, dia memegang Genta dan Vajra dan mengoyang-goyangkan Genta di tangan nya itu, sampai bunyi Genta terdengar olehku.
Setelah Mahaguru selesai berbicara denganku dan pergi, datang Mahaguru Thai Shang Lo Kun. Mereka berdua mencoba memberi kekuatan padaku, karena beberapa hari ini aku agak sedikit gundah dan kalut. Aku mencoba untuk tetap tenang, tapi sulit kulakukan karena sampai hari ini ayah mertua masih di ruang ICU dan tidak ada kemajuan apapun.
Mahaguru meminta agar aku menjalankan jalan Dharma dengan baik dan tidak melupakan Sumpah Bodhiku. Mahaguru Thai Shang Lo Kun juga mengkhawatirkan diriku, dan tidak ingin aku tenggelam dalam kesedihan terus sehingga jalan Dharma tidak berjalan dengan baik.
Aku amat berterima kasih pada kedua Mahaguruku itu, perhatian yang mereka berikan amat membuat aku terharu. Semoga saja selalu ada kebaikan untuk ayah mertua. Kemudian aku pergi ke alam binatang, disitu aku melihat banyak sekali binatang, dari bentuknya seperti kelelawar, aku mengikuti mereka terbang sampai ke dalam gua yang gelap, aku hampir tak dapat melihat apa-apa, hanya melihat mata-mata mereka bersinar terang. Salah satu kelelawar bicara padaku :
“Desi, aku Kelelawar, saat ini kau berada di Alam kami.”
“Mengapa kalian tidur dan bergelantungan dengan kepala di bawah ?“
“Ini ada sebabnya.”
“Apa itu ?”
“Aku ceritakan dulu mengenai kenapa kami menjadi kelelawar. Sebelumnya kami adalah Dewa-Dewi di langit. Kami biasanya mengurus perayaan-perayaan yang ada di istana langit. Karena kami berbuat kesalahan dan bersenang-senang saja, sehingga perayaan yang diembankan kepada kami menjadi berantakan, membuat Raja Langit murka dan menghukum kami menjadi kelelawar.”
“Hanya karena itu kalian di hukum ? Sepertinya tidak begitu bijaksana jika Kaisar Langit menghukum kalian karena hal ini.”
“Sebenarnya apa yang kami lakukan adalah masalah besar, menyebabkan kesusahan dan kekacauan di segala penjuru langit.”
“Oh begitu.”
“Iya, cara tidur kami seperti ini, bergantungan dan berada di tempat gelap. Sebenarnya karena kami semua malu atas kesalahan kami. Karena sebelumnya kami punya kelebihan menyusun perayaan, dengan kekuatan ilmu kami, kami bisa terbang kesana kemari untuk memasang perlengkapan perayaan besar di langit. Dan juga karena sebelumnya kami melatih meditasi kaki di atas atau menggantungkan kaki sampai ketiduran.”
“Loh, bukankah jika meditasi kalian sudah sampai tahap itu seharusnya bisa menjadi Buddha ?”
“Kami hanya suka meditasi saja dengan cara itu, tapi sama sekali tidak mengenal Dharma Buddha, jadi hanya untuk kekuatan ilmu, jadi mana bisa jadi Buddha.”
“Oh ...” “Itulah kehidupan kami.”
“Berapa lama hidup di alam ini ?”
“Hanya beberapa tahun saja.“
“Setelah itu?”
“Kembali ke langit.“
“Menjadi Dewa pengurus perayaan lagi ?”
“Iya.”
Aku mengangguk aneh. Ternyata menjadi Dewa itu tidak selamanya menyenangkan dan dapat berbuat sesuka hati, buktinya Dewa Dewi langit pun bisa tumimbal lahir menjadi binatang. Sungguh menyedihkan.
Filsafat :
Begitu muram hati manusia jika selalu diliputi kesedihan
Begitu hampa hidup manusia jika hanya mengharapkan kebahagiaan
Apalah artinya nama, apalah artinya harta
tiada yang lebih berarti selain Dharma Buddha.
Ajaran Buddha :
Hidup tak selamanya sulit, jika mengerti makna hidup
Tanpa pencapaian, tanpa keinginan akan membuat
manusia keluar dari penderitaan
tapi tak semua orang mampu mengatasinya
Menganggap sulit padahal mudah
Manusia lebih berat meninggalkan kesenangan
dan sulit untuk meninggalkan materi
Tak ada yang bisa mengerti, kemana arah jalan yang di tempuh
haruskah mereka tenggelam dalam kesia-siaan
hanya mereka yang berjodoh yang bisa ditolong.