Halaman

ALAM BURUNG ELANG



Dalam meditasi, aku melihat sepasang kaki yang memiliki cakar yang tajam, bentuknya seperti sepasang kaki unggas / burung. Setelah beberapa lama dan melihat dengan lebih jelas kaki apa itu, ternyata itu kaki seekor Burung Elang.


Setelah dia melihat kehadiranku, burung elang yang agak besar itu terbang dengan cepat, dan sepertinya aku ikut terbang di belakangnya, dalam perjalanan burung elang itu menukik tajam seperti hendak menyerang sesuatu, ternyata dia sedang mengincar seekor tikus air, elang itu menangkap tikus air itu, mencengkramnya dan membawanya terbang.


Aku masih terus mengikuti elang itu, burung elang itu melesat pergi dan berhenti di satu pohon yang tinggi, disana ada sarang dan anak-anaknya sudah menunggu, ternyata burung elang itu mencari makan untuk anak-anaknya.


Tikus air yang ditangkapnya itu diberikan kepada mereka, dan anak-anak elang itu saling berebutan memakannya, aku agak miris melihat hal itu. Tidak lama kemudian burung elang besar tadi berbicara:


“Desi, aku Burung Elang. Kau saat ini berada di Alamku.”

“Bagaimana bisa terlahir menjadi burung elang ?”

“Sebelumnya aku adalah manusia, karena telah berbuat kesalahan sehingga terlahir menjadi elang.”


“Kesalahan apa yang kau lakukan ?”

“Aku seorang yang tinggi hati, kesombonganku telah membuatku seperti ini. Dulu aku suka menghina orang lain dan merendahkan mereka, dan aku juga seorang yang sangat pelit. Aku tidak pernah mendermakan uangku untuk orang yang kesusahan, malah menghina mereka semua.” 



“Oh begitu...”

“Ya, karena kesombongan dan tinggi hatiku itu, sehingga terlahir menjadi burung elang. Sampai-sampai setelah menjadi burung elang, karakterku masih juga tidak berubah. Kami bangsa elang lebih suka tinggal di puncak bukit atau di atas pohon yang tinggi, karena kami merasa tidak setara dengan yang lain. Kami sangat kesepian, tapi kami tidak bisa keluar dari kehidupan ini.“



“Berapa lama kehidupan di alam ini?”

“Hanya beberapa tahun saja.“



“Setelah itu ?”

“Kembali menjadi manusia.”



“Lalu bagaimana dengan pembunuhan makhluk lain yang kau lakukan, apa tidak menambah karma buruk ?  Bagaimana bisa, ada karma buruk bisa terlahir menjadi manusia ?”


“Itu sudah garis kehidupan kami, tikus dan ular menjadi makanan kami, kedua binatang ini masing-masing punya karma buruk juga di kehidupan yang lalu, sehingga mereka mempunyai nasib dimakan oleh burung elang. Sesungguhnya memakan mereka sama sekali tidak membawa kebaikan bagi kami, tapi kami tidak dapat berbuat apa-apa.”



“Begitu ya..”

“Desi, kau harus bisa memberitahukan kepada manusia agar jangan berbuat kesalahan selama hidup di dunia, karena hukum sebab akibat itu ada, saat menjadi manusia kami tidak mengetahuinya dan bersikap tidak perduli, tapi setelah mati kami baru merasakan penderitaan menjadi binatang.  Sungguh bersyukur bisa menjadi manusia, karena disaat itu punya kesempatan untuk berbuat kebaikan. Setelah menjadi binatang kami sulit untuk melakukannnya.” 


“Baiklah, aku akan menuliskan hal ini, terima kasih.”

Aku keluar dari meditasi.

Hari ini, ayah mertuaku dipindahkan di ruang ICU, hal ini membuat kami sekeluarga bersedih, mengapa tidak ada kebaikan. Aku memohon para Buddha-Bodhisattva mengabulkan permohonanku, dan rela memberikan beberapa tahun usiaku untuknya, agar dia bisa kembali sehat dan bisa berkumpul kembali dengan keluarga.